Halaman

Minggu, 21 Oktober 2012

Kata gembira itu bernada “ya”

Cuma berbagi cerita pendek saja, dan tidak bermaksud untuk mengundang kata “WOW” J. Kritik dan saran nya ya gan, maklum masih newbie bikin cerpen...

Disemester ini Aisyah melakukan penelitian yang biasa dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir lainnya. Ya penelitian itu biasa disapa dengan sebutan “skripsi”. Decak kagum bertambah haru semakin terukir dalam diri, karena beberapa bulan lagi Aisyah harus mengakhiri statusnya sebagai Amd., dan berubah status menjadi SE (Sarjana Ekonomi). Tentunya harus melewati episode demi episode untuk bisa happy ending dengan meraih gelar SE.

Masa-masa bimbingan pun terasa mengasyikan ketika prosesnya berjalan lancar. Namun tidak, untuk Aisyah. Kenapa? Sang dosen pembimbing pun mendeklarasikan kepada Aisyah untuk membaca terlebih dahulu apa yang akan menjadi bahan/judul dalam skripsi.  Setelah itu barulah diijinkan untuk berlanjut ke sesi berikutnya yaitu Bab 1. Sepekan berlalu, Aisyah pun menemui dosen pembimbing sesuai dengan jadwal bimbingan, ketika itu Aisyah ditanyai habis habisan tentang bahan/materi yang Aisyah ajukan sebagai judul skripsi. Memang dasar dosen pembimbingnya cerdas, apa yang ditanyakan tidak sesuai dengan apa yang Aisyah baca, dan alhasil Aisyah diam seribu bahasa, dan disuruh untuk membaca ulang materi/bahan yang Aisyah ajukan dan kembali lagi minggu depan untuk menemuinya.

Satu minggu pun berakhir dengan cepat, Aisyah menemui dosen pembimbing dengan persiapan yang lebih mantap, berharap bisa lanjut ke bab 1 dan berhasil melalui pertanyaan-pertanyaan sang dosen. Namun harapan itu kandas ditengah jalan ketika ada pertanyaan pamungkas yang tidak bisa Aisyah jawab, dan sudah bisa  ditebak Aisyah diharuskan untuk membaca ulang kembali bahan/materi yang Aisyah ajukan. Hati Aisyah pun merana, karena ketidakmampuan Aisyah untuk menyibak sebuah misteri dalam bahan/materi yang Aisyah ajukan.

Minggu berikutnya pun diakhiri dengan hasil yang sama, hingga minggu keempat. Rasanya bosan sekali hanya membaca dan membaca materi yang sama sekali tanpa ada progress yang signifikan. Oke mungkin ketika bimbingan kedua/ketiga Aisyah berfikir, ini adalah proses untuk tahapan menghadapi sidang, yang dimaksudkan untuk siap dengan segala pertanyaan dari penguji. Namun di minggu keempat ini rasa jenuh, suka mengeluh, lesu,  dan tak ada gairah yang malah menghampiri Aisyah. Rasa muak, kesal dengan dosen pembimbing mulai merasuki jiwa Aisyah, hingga prasangka negative pun mulai berdatangan dari hati yang telah terkotori. Namun ketika itu Aisyah langsung beristigfar, memohon maaf atas segala pikiran yang pernah ia prasangka kan. Cepat-cepat ia bergegas untuk menyucikan diri dengan air wudhu, dan mengambil Al-Qur’an dan melanjutkan bacaannya yang kemarin. 

Seketika itu Aisyah menangis tersedu sedan di ayat 5-6, bahwasanya Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.

Dirinya telah lupa dengan janji Allah, bahwa disetiap kesulitan ada kemudahan. Aisyah yang selalu jenuh, suka mengeluh, lesu, dan tak ada gairah, hanya akan menjadikan dirinya sebagai wanita muslimah yang lemah, dan tak berdaya. Wanita yang hanya mengeluh, menyalahkan keadaan, dan berputus asa hanya akan menjadi wanita yang kufur nikmat, tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya. Aisyah teringat perkataan guru ngajinnya,  "janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman . ( Ali Imran : 139 )". Allah telah menunjukkan hidayah melalui ayat-ayatNYA dan  Aisyah merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk bertobat atas kekhilafan yang telah ia perbuat.

Setelah menyeka air mata yang sempat membasahi tempat sujudnya, Aisyah kembali membaca ulang materi/bahan yang akan diajukan sebagai judul skripsinya. Meskipun berkali-kali gagal dalam menjawab pertanyaan sang dosen, namun Aisyah bertekad “sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” mengazamkan diri untuk tidak mudah menyerah, pantang mundur sebelum bendera tertancap di puncak keberhasilan.

Buku demi buku ia baca, berbagai literatur pun menjadi makanan sehari harinya, perpustakaan seolah menjadi rumah kedua baginya. Tak peduli banyak waktu yang ia habiskan untuk membaca, semuanya demi sang Ayah dan Bunda, ia ingin mempersembahkan kesarjanaannya untuk orang yang paling Aisyah cintai, dan kasihi, Aisyah ingin melihat air mata bahagia Ayah dan Bunda berlinang membasahi pipinya, dan Aisyah ingin memeluk Ayah Bunda sambil berkata, “Ayah, Bunda, ini Aisyah persembahkan gelar Sarjana ini untuk Ayah dan Bunda, maaf Aisyah hanya merepotkan Ayah dan Bunda saja, Aisyah belum bisa ngasih apa apa sama Ayah Bunda”

Minggu kelima pun tiba, Aisyah menemui dosen pembimbing untuk kembali menjawab pertanyaan pertanyaan sang dosen, 45 menit Aisyah ditanya secara bertubi tubi oleh sang dosen terkait bahan/materinya, entah berapa banyak pertanyaan yang dilontarkan sang dosen. Semua pertanyaan minggu kemarin pun bisa Aisyah jawab dengan sempurna, dan seketika itu dosen pembimbing mengatakan “ya, silakan kamu lanjut ke Bab 1”. Tak terasa air mata berlinang dipelupuk mata Aisyah mendengar kata “ya” dari sang dosen pembimbing. Tidak sia-sia pengorbanan Aisyah untuk bisa mendapatkan kata “ya” dari sang dosen. Harus melalui usaha yang keras, pantang menyerah dan semangat yang terus terpatri dalam diri. Sungguh benar janji Allah, “sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan”.

Namun ini bukanlah akhir dari perjuangan Aisyah, tapi ini awal dari episode-episode yang telah tersknario dengan baik oleh Allah, agar Aisyah menjadi wanita muslimah yang tegar, pantang menyerah, berusaha keras, dan menjadi sosok Aisyah istri Rosullullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar