Halaman

Minggu, 21 Oktober 2012

Kata gembira itu bernada “ya”

Cuma berbagi cerita pendek saja, dan tidak bermaksud untuk mengundang kata “WOW” J. Kritik dan saran nya ya gan, maklum masih newbie bikin cerpen...

Disemester ini Aisyah melakukan penelitian yang biasa dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir lainnya. Ya penelitian itu biasa disapa dengan sebutan “skripsi”. Decak kagum bertambah haru semakin terukir dalam diri, karena beberapa bulan lagi Aisyah harus mengakhiri statusnya sebagai Amd., dan berubah status menjadi SE (Sarjana Ekonomi). Tentunya harus melewati episode demi episode untuk bisa happy ending dengan meraih gelar SE.

Masa-masa bimbingan pun terasa mengasyikan ketika prosesnya berjalan lancar. Namun tidak, untuk Aisyah. Kenapa? Sang dosen pembimbing pun mendeklarasikan kepada Aisyah untuk membaca terlebih dahulu apa yang akan menjadi bahan/judul dalam skripsi.  Setelah itu barulah diijinkan untuk berlanjut ke sesi berikutnya yaitu Bab 1. Sepekan berlalu, Aisyah pun menemui dosen pembimbing sesuai dengan jadwal bimbingan, ketika itu Aisyah ditanyai habis habisan tentang bahan/materi yang Aisyah ajukan sebagai judul skripsi. Memang dasar dosen pembimbingnya cerdas, apa yang ditanyakan tidak sesuai dengan apa yang Aisyah baca, dan alhasil Aisyah diam seribu bahasa, dan disuruh untuk membaca ulang materi/bahan yang Aisyah ajukan dan kembali lagi minggu depan untuk menemuinya.

Satu minggu pun berakhir dengan cepat, Aisyah menemui dosen pembimbing dengan persiapan yang lebih mantap, berharap bisa lanjut ke bab 1 dan berhasil melalui pertanyaan-pertanyaan sang dosen. Namun harapan itu kandas ditengah jalan ketika ada pertanyaan pamungkas yang tidak bisa Aisyah jawab, dan sudah bisa  ditebak Aisyah diharuskan untuk membaca ulang kembali bahan/materi yang Aisyah ajukan. Hati Aisyah pun merana, karena ketidakmampuan Aisyah untuk menyibak sebuah misteri dalam bahan/materi yang Aisyah ajukan.

Minggu berikutnya pun diakhiri dengan hasil yang sama, hingga minggu keempat. Rasanya bosan sekali hanya membaca dan membaca materi yang sama sekali tanpa ada progress yang signifikan. Oke mungkin ketika bimbingan kedua/ketiga Aisyah berfikir, ini adalah proses untuk tahapan menghadapi sidang, yang dimaksudkan untuk siap dengan segala pertanyaan dari penguji. Namun di minggu keempat ini rasa jenuh, suka mengeluh, lesu,  dan tak ada gairah yang malah menghampiri Aisyah. Rasa muak, kesal dengan dosen pembimbing mulai merasuki jiwa Aisyah, hingga prasangka negative pun mulai berdatangan dari hati yang telah terkotori. Namun ketika itu Aisyah langsung beristigfar, memohon maaf atas segala pikiran yang pernah ia prasangka kan. Cepat-cepat ia bergegas untuk menyucikan diri dengan air wudhu, dan mengambil Al-Qur’an dan melanjutkan bacaannya yang kemarin. 

Seketika itu Aisyah menangis tersedu sedan di ayat 5-6, bahwasanya Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.

Dirinya telah lupa dengan janji Allah, bahwa disetiap kesulitan ada kemudahan. Aisyah yang selalu jenuh, suka mengeluh, lesu, dan tak ada gairah, hanya akan menjadikan dirinya sebagai wanita muslimah yang lemah, dan tak berdaya. Wanita yang hanya mengeluh, menyalahkan keadaan, dan berputus asa hanya akan menjadi wanita yang kufur nikmat, tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya. Aisyah teringat perkataan guru ngajinnya,  "janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman . ( Ali Imran : 139 )". Allah telah menunjukkan hidayah melalui ayat-ayatNYA dan  Aisyah merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk bertobat atas kekhilafan yang telah ia perbuat.

Setelah menyeka air mata yang sempat membasahi tempat sujudnya, Aisyah kembali membaca ulang materi/bahan yang akan diajukan sebagai judul skripsinya. Meskipun berkali-kali gagal dalam menjawab pertanyaan sang dosen, namun Aisyah bertekad “sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan” mengazamkan diri untuk tidak mudah menyerah, pantang mundur sebelum bendera tertancap di puncak keberhasilan.

Buku demi buku ia baca, berbagai literatur pun menjadi makanan sehari harinya, perpustakaan seolah menjadi rumah kedua baginya. Tak peduli banyak waktu yang ia habiskan untuk membaca, semuanya demi sang Ayah dan Bunda, ia ingin mempersembahkan kesarjanaannya untuk orang yang paling Aisyah cintai, dan kasihi, Aisyah ingin melihat air mata bahagia Ayah dan Bunda berlinang membasahi pipinya, dan Aisyah ingin memeluk Ayah Bunda sambil berkata, “Ayah, Bunda, ini Aisyah persembahkan gelar Sarjana ini untuk Ayah dan Bunda, maaf Aisyah hanya merepotkan Ayah dan Bunda saja, Aisyah belum bisa ngasih apa apa sama Ayah Bunda”

Minggu kelima pun tiba, Aisyah menemui dosen pembimbing untuk kembali menjawab pertanyaan pertanyaan sang dosen, 45 menit Aisyah ditanya secara bertubi tubi oleh sang dosen terkait bahan/materinya, entah berapa banyak pertanyaan yang dilontarkan sang dosen. Semua pertanyaan minggu kemarin pun bisa Aisyah jawab dengan sempurna, dan seketika itu dosen pembimbing mengatakan “ya, silakan kamu lanjut ke Bab 1”. Tak terasa air mata berlinang dipelupuk mata Aisyah mendengar kata “ya” dari sang dosen pembimbing. Tidak sia-sia pengorbanan Aisyah untuk bisa mendapatkan kata “ya” dari sang dosen. Harus melalui usaha yang keras, pantang menyerah dan semangat yang terus terpatri dalam diri. Sungguh benar janji Allah, “sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan”.

Namun ini bukanlah akhir dari perjuangan Aisyah, tapi ini awal dari episode-episode yang telah tersknario dengan baik oleh Allah, agar Aisyah menjadi wanita muslimah yang tegar, pantang menyerah, berusaha keras, dan menjadi sosok Aisyah istri Rosullullah.

Senin, 08 Oktober 2012

Ajari Aku Caranya Bukan Hasilnya


Dunia pendidikan mengajarkan kita agar menjadi manusia yang cerdas, baik cerdas dalam emosional, cerdas dalam spiritual, dan cerdas dalam intelektual. Menjadi cerdas butuh proses, butuh waktu, butuh pemahaman yang matang dalam  suatu entitas tersebut. Namun sangat disayangkan jika proses untuk mencapai kecerdasan tersebut tidak dapat dilakukan. Maka yang terbentuk adalah manusia manusia karbitan. Kenapa saya katakan seperti itu? Karena tanpa melalui tahapan “proses” tersebut muncullah manusia instan, manusia yang tidak tahu bagaimana cara mendapatkan sebuah output. Maka manusia inilah yang gampang untuk dibodoh-bodohi, dan gampang untuk digelincirkan.
Sebagai contoh, saya ambil dari proses kegiatan mengajar seperti, menjadi seorang "pengajar" di lingkungan kampus. Seorang pengajar berfungsi untuk membantu mahasiswa dalam proses belajar untuk lebih memahami mata kuliah yang diajarkan. Tentunya dari proses belajar ini sangat membantu, jika orang yang diajar dan yang mengajar saling berkontribusi sehingga membentuk suasana yang kondusif. Namun alangkah disayangkan jika salah satu dari kedua belah pihak tidak dapat berkontribusi dengan baik, sehingga menimbulkan output yang kurang baik juga. Sebuah kasus yang pernah saya alami, adalah ketika sang pengajar memberikan sebuah soal, dan langsung memberikan jawabannya/hasilnya, tanpa menerangkan bagaimana hasil tersebut diperoleh. Sehingga memunculkan mahasiswa-mahasiswa yang hafal dengan hasil bukan dengan caranya.
Inilah yang dimaksud dengan memunculkan manusia karbitan, manusia yang hafal verbal tapi tidak paham nalar (proses berfikir), seperti halnya burung beo yang mampu mengucapkan apapun tapi tidak mengerti apa yang diucapakannya. Apakah dengan konsep seperti  ini akan muncul manusia yang cerdas? Tentu tidak. Maka penting sekali sebuah proses dalam pencapaian tujuan. Sehingga kami bisa mengerti dan paham apa yang diajarkan.
Jangan sia-siakan harapan kami para mahasiswa yang ingin belajar serius. Jangan hapuskan cita cita kami untuk menjadi manusia yang cerdas di kampus ini. Kami menggantungkan cita cita setinggi langit agar bisa menjadi manusia yang berguna bagi tanah air. Ajarilah kami dengan ilmu yang bermanfaat, ajarilah kami dengan sabar, ajarilah kami sebagaimana guru terbaik mengajarkan kepada anak didiknya. Ajarilah kami sebuah proses, langkah demi langkah. Ajarilah kami dengan ilmu yang kau peroleh, dan janganlah kau sembunyikan sedikit pun dari kami, bukankah Allah menjelaskan dalam firman-NYA : “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160].
Sebagai dari akhir ulasan ini, saya mengucapkan mohon maaf jika ada salah kata, atau ada kalimat yang kurang berkenan yang mendeskriditkan karakter sebuah profesi. Goreskanlah kritik dan saran yang membangun. Terimakasih J

Selasa, 02 Oktober 2012

Mindset yang Harus Diubah

Hari semakin gelap yang menunjukkan keanggunannya dalam semarak ibu kota, meskipun malam tak bertahtakan bintang, meskipun ia akan mengalirkan air matanya untuk membasahi bumi ini.  Deru suara kendaraan beroda melengkapi menu harian kemacetan yang tak kunjung terselesaikan. Namun langkahku untuk menuntut ilmu tak tersurutkan olehnya. Langkah demi langkah kutapaki dengan berharap agar mendapatkan secuil ilmu dari lembaga pendidikan yang tersohor dengan kampus reformasinya. Berharap mendapatkan ilmu segar dari nikmat Allah atas perkuliahan kali ini, namun ada secuil rasa yang sungguh tak mengenakkan kalbuku. Ketika sang dosen mulai memperkenalkan dirinya dengan percaya dirinya nan angkuh, beliau berkata : “saya punya mobil 5, saya baru beli rumah seharga 3 milyar, setiap bulan saya selalu jalan jalan ke luar negeri, anak saya di Canada dan menetap disana, anak saya punya apartemen, saya memang kaya, dan anda (sambil nunjuk ke mahasiswa) pun harus kaya… masa kalah sama umur 53 tahun???
Memang jika dilihat dari sudut pandang yang lain, ini sangat positif, menantang anak muda untuk bisa seperti dosen itu, atau bahkan lebih dari yang bisa diraih dosen itu. Tetapi menurut saya ada yang salah dalam penyampain dosen itu, kenapa dalam pencapaian hidup ini harus berorientasikan kepada yang namanya “kekayaan harta”, apakah memang dengan melimpahnya harta akan bahagia? Apakah dengan melimpahnya harta, hidup kita akan terhormat di mata Allah? Apakah dengan melimpahnya harta bisa menjamin kita masuk syurga Allah? Inilah yang ingin saya sampaikan, kenapa tujuan kita bukan akhirat? kenapa berlomba lomba dalam kekayaan? Apakah memang semua hartanya akan dibawa ke liang lahat? Kenapa malah dunia sebagai acuan untuk mencapai kenikmatan yang hanya sedikit?
Ingatkah ketika Rasulullah saw bersabda: "Demi allah, dunia ini dibanding akhirat ibarat seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut; air yang menetes di jarinya ketika diangkat itulah nikmat dunia" (HR. Muslim). Mengapa nikmat dunia hanya satu tetes air yang menetes dari jari yang dicelupkan di laut dan diangkat? karena sesungguhnya luas surga yang disediakan buat orang bertaqwa adalah seluas langit dan bumi. Allah berfirman dalam Qs 3.133: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."
Nah jadi sudah jelas bahwa tujuan kita hanya Allah, bukan kekayaan yang menjadi orientasi hidup ini. Persiapkanlah akhiratmu juga, ketika akherat menjadi acuan kita maka dunia akan mengikuti, tetapi ketika dunia menjadi tujuan kita, maka jangan harap akherat akan mengikutimu, seperti menanam padi, jika kita menanam padi maka tanpa disengaja disekitar padi akan ditumbuhi rumput, tetapi ketika kita menanam rumput apakah akan tumbuh padi? Tentu jawabannya adalah tidak. Tapi sekarang muncul pertanyaan, apakah kita tidak boleh menjadi kaya? Jawabannya adalah boleh boleh saja, ingatkah kholifah Usman bin Affan? Beliau sahabat nabi yang sangat sangat kaya raya, so menjadi kaya boleh asal tidak menjadi orientasi hidup, tetap orientasi kita adalah akherat. Silakan bekerja dan mencari nafkah di dunia dengan maksimal dan ingat, jangan kau tinggalkan akheratnya pula.


Peran Pemuda

Peran Serta Pemuda Dalam Pembangunan Melalui Media Sosial

Pemuda adalah cikal bakal pemimpin dimasa yang akan datang, ditangan pemuda, ia bisa melakukan apa saja, ditangan pemuda ia dapat meneriakkan suarannya untuk menentang ketidakadilan, menuntut reformasi agar dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepotisme. Ditangan pemuda, lahirlah Budi Oetomo yang dapat menggerakkan jiwa patriotisme para pemuda untuk membela tanah air, ditangan pemuda “Sumpah Pemuda” dapat dikobarkan. Begitu penting peranan pemuda dalam sebuah peradaban.  Dahulu kita sangat bangga mendengar kata “pemuda” karena lewat pemikiran-pemikiran briliannya pemuda dapat menyelesaikan persoalan dengan cepat dan tepat, ingatkah ketika para pemuda sempat berselisih dengan golongan tua mengenai proklamasi Indonesia, berkat desakan pemuda juga lah akhirnya, kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pemuda yang mempunyai jiwa patriotisme, peduli terhadap bangsa dan negara, bertanggung jawab atas diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Pemuda yang harus beperan aktif dalam pembangunan negara, pemuda harus kritis dalam segala aspek. Pemuda yang selalu cinta terhadap bangsanya, tidak menghina ataupun merendahkan bangsa sendiri. Pemuda harus banyak belajar, banyak menimba ilmu agar bisa bersaing dengan dunia luar. Pemuda yang selalu menyingsingkan lengan bajunya untuk menolong sesama, pemuda yang selalu disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat. Pemuda yang tangguh, pantang menyerah, gigih, memiliki komitmen dan bekerja keras. Itulah yang seharusnya dimiliki oleh remaja sekarang, namun sangat disayangkan ketika para pemuda harapan itu telah redup dalam sinarnya. Pemuda sekarang telah meninggalkan nilai nilai luhur itu, pemuda sekarang  telah berubah menjadi anak-anak yang manja. Pemuda sekarang maunya enak sendiri, ingin dilayani, segalanya serba ada dan serba perintah. Pemuda sekarang telah terjangkit dengan budaya pamer dan mengeluh, pamer jika mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, pamer kekayaan, kepintaran, dan lain sebagainya. Bukankah pamer itu termasuk perbuatan tercela? dan  dapat mengurangi pahala kita? pamer ibarat membawa air di ember yang bocor, pastilah tidak ada gunanya, bukankah segala yang kita dapatkan berasal dari Tuhan semata? kenapa harus dipamerkan? mestinya kita malu, karena dengan nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita, belum bisa sepenuhnya disyukuri, belum bisa berbagi dengan sesama, belum bisa ikut membahagiakan kerabat kita yang masih membutuhkan, ini malah  dengan antusiasnya pamer kepada sesama dan ingin menunjukkan bahwa dirinya "wow". Cukuplah Tuhan bagi diriku, tak ada sesuatu pun yang mampu merubah haluanku kepada-NYA. Budaya mengeluh pun sering kita jumpai didalam permasalahan hidup yang dihadapinya, setiap menemui permasalahan langsung menumpahkannya dalam bentuk status di media sosial. Seolah belum afdol jika belum update status. Sebuah sikap yang sangat tidak gentlemen, seolah mengadukan masalah kepada orang lain bukan kepada Tuhannya. Tidak bisa mengatasi permasalahannya dengan mandiri dan selalu mengeluh, mencaci, dan menghujat. Bukannya berusaha untuk penyelesaian masalah tersebut namun sibuk dengan aktivitasnya di dunia maya. Pemuda sekarang banyak  yang  menumpahkan masalah dan rutinitas kehidupannya di media sosial, seolah ingin mendapat perhatian orang banyak, bak artis yang ingin diketahui setiap aktivitasnya oleh orang ramai. Pemuda sekarang sibuk dengan upadate statusnya di facebook, dan twitter, sibuk dengan berkomentar ria atau saling mention, sibuk dengan masalah percintaan, sibuk dengan mengggombali lawan jenisnya, sibuk dengan kekasihnya, sibuk dengan aktivitas yang tidak bermanfaat. Karakter mengeluh, menghujat dan memaki tak jarang dijumpai di jejaring sosial tersebut. Sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, membicarakan kejelekan temannya, hingga berselisih dengan pacarnya hingga berbuntut renggangnya hubungan sosial mereka. Mungkin inilah beberapa status yang sering kita jumpai ;

4duH LGi g4l4u dEh b0o…

Aduh ini tugas belum selesai, besok di kumpulin lagi…aduh gimana ini???@iD4kzeletoch??

Hari ini makan ape ye…kayaknye makan ikan sambel mercon enak dweehh…

Aduh si ayang ko belum telepon aku sih…#merana

Hllo salam kenal, aku adi..… follback balik dong…#ngarepabis

Trus gua harus bilang “WOW sambil salto gitu?”

Ciyus? Miapah? Miawoh?

Hemmm begini lah cinta deritanya tiada berakhir….#mauputus

Neng punya rumah gak? | punya aa | kalo aa  punya tangga | trus knpa aa? | gimana kalo kita bikin rumah tangga??? Eheheheh… :D

Dasar cowo br*ngsek, bisa nya cuma nyakiitin cewe mulu…#cuih

Ketemu mantan itu rasanya kayak pengen ngelempar pake sendal…

Dasar b*go… itu wasitnye buta kali…kagak liat…

“alacelalumerana merubah statusnya menjadi lajang”….dsb.

Apakah seperti ini tingkah laku pemuda bangsa Indonesia? Apakah  pemuda yang suka pasang status seperti ini yang diharapkan masyarakat? Mana sumbangsih pemuda dalam rangka menyukseskan program-program bela negara? Mana pakaian patriotisme mu wahai pemuda? Mana budaya sopan santun mu ? Dimana identitasmu sebagai pemuda yang diharapkan bangsa? Sangat disayangkan sekali jika waktu muda mu hanya untuk mengeluh, mencaci, menghujat, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, Tuhan telah memberi modal kepada para pemuda dengan jiwa yang kuat, raga yang sehat, pikiran yang tidak tersendat, apakah kita menyia-nyiakan modal yang diberikan Tuhan kepada kita tanpa memanfaatkannya? Ironis sekali jika kita hanya menuruti hawa nafsu semata untuk bersenang-senang tanpa membuat arti untuk hidup yang lebih baik, bermanfaat untuk orang disekeliling kita.
Perkembangan jaman dan teknologi memaksa kita untuk melek informasi, melek teknologi, dan melek akan perkembangan bangsa ini, sehingga untuk mengakses informasi tersebut dibuatlah sarana untuk bisa mendapatkan informasi, termasuk media sosial (facebook, twitter dll). Media sosial yang dapat digunakan sebagai akses informasi dan saling berkomunikasi ini tentunya mendapat angin segar terkhusus para pemuda.  Pengguna media sosial yang kebanyakan para pemuda ini seolah terhipnotis dengan adanya bentuk media tersebut. Bagaimana tidak, media sosial yang saling menghubungkan satu dengan yang lainnya ini menyedot aktivitas para pemuda untuk berlama lama berselancar didunia maya, apalagi dengan tambahan game yang bisa diakses lewat media tersebut. Tak jarang kalangan anak muda menghabiskan waktunya di media sosial tersebut, hanya untuk update status, saling berkomentar ria, chatting, ataupun bermain game.
Peranan media sosial tentunya seperti pedang bermata dua, disalah satu sisi menguntungkan, disisi lainnya sangat merugikan jika pemanfaatannya kurang layak/baik. Tentunya tergantung peranan user (pemuda) dalam memanfaatkannya. Media sosial tentunya bisa sangat menguntungkan ketika seseorang yang jarang bertemu dengan teman, atau rekan bisnis untuk saling menyapa dan bertukar informasi.  Saling berbagi ilmu lewat notes, saling men-tag ketika ada nasihat atau quote, pasang update status yang bermanfaat, membuat grup belajar, saling berkomentar mengenai isu yang marak diberbagai media elektronik, saling memberi masukan untuk pelayanan pemerintah yang kurang layak, dan berusaha untuk ikut serta dalam pembangunan negara, bukan hanya menyalahkan pemerintah saja. Saling berbagi (share), mengenai informasi, pemberitaan, dan hal-hal yang bermanfaat dan masih banyak lagi aktivitas yang dapat kita lakukan di media sosial dalam rangka menumbuhkembangkan identitas pemuda untuk mewujudkan pemuda harapan bangsa. Pemanfaatan media sosial yang seperti ini lah yang seharusnya menjadi perhatian  dan terus dikembangkan oleh para pemuda masa kini.  Mari kita munculkan kembali jiwa pemuda yang dahulu pernah menorehkan sejarah kemerdekaan, dimulai dari hal-hal kecil seperti yang telah diutarakan sebelumnya. Nah itulah sebagian kecil yang seharusnya dilakukan oleh para pemuda sekarang dalam pemanfaatan media sosial.
Sekarang muncul pertanyaan, bagaimana agar para pemuda bisa sepaham dengan kita? Caranya gampang, yaitu:
Pertama, adalah dimulai dari sendiri, ketika sesuatu hal itu berawal dari diri sendiri, maka akan dengan mudah untuk mentransfer hal tersebut kepada orang lain. Contoh: merokok, orang lain tidak akan berhenti merokok  ketika kita suruh untuk berhenti merokok, jika kita sendiri enggan untuk berhenti dari merokok, solusinya adalah berawal dari diri sendiri dengan melakukan contoh yang baik, yaitu berhenti dari merokok, maka nasihat atau ajakan tersebut akan dengan mudah untuk diikuti.
Kedua saling mengingatkan, ketika ada teman yang sedang mengalami kebimbangan dan selalu mengeluh di media sosial, kita ingatkan dengan dua arah, jangan mengingatkan dengan menuliskan komentar di statusnya atau di mention, tapi ingatkanlah lewat chatting yang hanya dua arah, atau melalui pesan, atau direct message. Karena mengapa, biasanya orang tidak mau ditunjukkan kesalahannya didepan umum, maka kita ingatkan dengan metode dua arah ini.
Ketiga, dekatkan diri kita dan ajak/libatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, karena dengan melibatkan mereka langsung dalam kegiatan tersebut, maka mereka akan sadar, betapa indahnya jika waktu yang digunakan hanya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Biasanya ini akan berpengaruh terhadap psikis mereka, ketika mereka sudah melakukan hal yang bermanfaat, maka secara tidak langsung dalam tingkah laku mereka akan menunjukkan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupannya sehari-hari
            Nah mudah-mudahan dengan langkah-langkah tersebut dapat menjadikan hidup kita bermanfaat untuk lingkungan sekitar, khususnya untuk diri sendiri. silakan torehkan kritik dan saran anda tapi yang membangun ya... :)

("ingatkan bila saya hilaf, tegur bila saya salah")
parmadi